oleh

Apip Ifan Permadi, Menapaki Jalan Politik dari Dasar

KABARPARLEMEN.ID – Apip Ifan Permadi merupakan salah satu politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Kabupaten Tasikmalaya. Ia menapaki jalan politik sejak dari dasar. Sejak usianya muda.

Pria yang kini menduduki jabatan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tasikmalaya itu lahir di Tasikmalaya, 25 November 1972. Anak dari pasangan Eman dan Onih Jahronih. Anak daerah asli, di Kecamatan Cigalontang.

Apip hidup dalam asuhan seorang guru Sekolah Dasar (SD) dan ibu rumah tangga. Pola didikan keluarganya terbilang keras, terutama dari ayahnya yang seorang guru. Sementara ibunya lebih kalem, lazimnya ibu yang lain.

“Saya ini kan anak keempat dari Enam bersaudara, yang semua laki-laki. Jadi, ayah cenderung keras. Apalagi kalau di antara anak-anaknya itu ribut-ribut. Suka dipukul pake sapu lidi. Tapi, sebagai anak seorang guru, saya senang kalau bisa ikut ayah ke sekolah saat mengajar, walaupun tidak ikut masuk kelas,” kenang Apip.

Apip mengaku kalau semasa kecilnya lebih sering bermain di luar rumah. Bahkan menginap pun sering di rumah teman-temannya, dengan alasan belajar kelompok. Kebetulan ia tergolong siswa berprestasi, sehingga teman-temannya selalu mengajak belajar bersama.

Sementara ibunya, Onih Jahronih, memiliki jiwa pekerja keras. Sekalipun belakangan sering mengalami jatuh sakit. Seperti kaum ibu lainnya yang hidup di pedesaan, Onih juga suka ikut gacong, buruh tani yang bertugas memanen padi di sawah milik orang lain.

Mondok di Jawa Timur

Masa kecil Apip di Tasikmalaya hanya sampai bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), di Mangunreja. Setelah itu merantau ke Jawa Timur, untuk menimba ilmu di Pesantren Walisongo Tarbiyatul Muallimin Al-Islamiyah.

Pada masa itu memang masih jarang orang dapat melanjutkan sekolah hingga tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Tapi ayah Apip berpikir lain. Sebagai seorang guru, ia paham betul akan pentingnya pendidikan.

“Pesantren Walisongo ini adalah pondok pertama yang didirikan dan dikelola oleh alumni Gontor. Sistem pendidikannya pun persis dengan Gontor. Jadi, ada pendidikan umumnya juga. Saya lulus pada 1992,” kata Apip.

Sebelum masuk pesantren, Apip sejatinya sempat protes. Inginnya menempuh pendidikan umum saja. Di samping nilai ujian tahap akhirnya paling tinggu, juga karena diam-diam memendam cita-cita menjadi tenaga kesehatan.

Tapi, apa boleh buat, titah sang ayah sudah tidak bisa dibatah. Dengan berat hati, Apip naik kereta berangkat ke Jawa Timur untuk mondok.

“Ayah itu kalau sudah memutuskan, harus dituruti. Tapi belakangan saya mendapatkan hikmahnya, walaupun saya tidak jadi pekerja di lingkungan kesehatan, akhirnya saya hidup di lingkungan keluarga kesehatan. Istri dan orangtua istri kan petugas kesehatan,” syukur Apip sambil tertawa.

Aktivis Organisasi, Masuk Politik Praktis

Apip masuk pesantren dalam usia yang menginjak remaja. Sudah cukup dewasa dalam berpikir dan memilih sesuatu yang bergina bagi dirinya. Termasuk memilih berorganisasi.

Pria yang kini akrab dengan sapaan Abah itu aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), walaupun sebelumnya pernah menjadi Ketua OSIS di SMP. Kebetulan di lingkungan pesantren ada Pengurus Daerah Istimewa PII.

Waktu itu PII memang dalam suasana perjuangan. Akibat dari Presiden Soekarno yang mengambil langkah membubarkannya. Tapi aktivis PII menolak bubar. Karena itulah semangat heroismenya cukup tinggi.

“Jadi, kalau mendengar pidato-pidatonya itu selalu bernada perlawanan. Sangat keras dan berapi-api. Tapi aman, karena kan masih di lingkungan pesantren. Sampai Pak Yai (kiai) itu bilang, ‘sebelum bom meledak di sini, PII tidak akan pernah bubar’,” kenang Apip lagi.

Pada pase selanjutnya, PII di Pesantren Walisongo bertransformasi menjadi Pelajar Islam Walisongo. Sekalipun demikian, organisasi ini mengadopsi sistem PII seutuhnya, mulai dari sistem pengkaderan dan lain sebagainya.

Pulang ke daerah pada 1992. Apip sudah memiliki bekal hidup bermasyarakat. Salah satunya amanat yang selalu menancap dalam benaknya, terkait kemanfaatan bagi masyarakat banyak.

“Salah satu pelajaran penting dari pesantren yang selalu saya ingat itu, buat apa menjadi orang besar kalau tidak memberikan manfaat kepada orang lain, kepada masyarakat banyak,” lanjut Apip.

Pulang dari Jawa Timur, Apip melanjutkan studi di Institute Agama Islam Cipasung (IAIC), jurusan Tarbiyah, pada 1993. Lagi-lagi kampus pilihan ayahnya; karena harapan Apip dapat kuliah di Bandung, Jakarta atau daerah lain yang dapat memberi suasana baru.

Karena kuliah di Cipasung juga, perjalanan organisasi Apip berlanjut di IPPNU dan GP Ansor. Karena memang organisasi itulah yang ditemukannya.

“Kenapa sebagai anggota PII saya tidak lanjut ke HMI atau organisasi lain selain IPPNU dan Ansor? Karena memang di situ tidak ketemu,” seloroh Apip lagi.

Barulah masuk politik praktis pada 1997, saat aktif di PPP. Sampai-sampai pada 1999 menjadi penyelenggara Pemilu, sebagai Ketua PPK Kecamatan Cigalontang. Karena pada waktu itu penyelenggara Pemilu adalah perwakilan Parpol.

Pada 2001, Apip masuk dalam struktur Pengurus Harian (PH) PPP Kabupaten Tasikmalaya. Sebagai wakil sekretaris yang paling muda. Sehingga dalam bagan struktur partai, namanya terletak di posisi paling bawah.

Tibalah waktunya Pemilihan Legislatif tahun 2004. Apip yang masih bujangan ditawari untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya.

“Di partai itu memang dipersiapkan untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu, baik legislatif maupun eksekutif. Jadi yang masuk PH itu harus mencalonkan semua. Termasuk saya yang waktu itu paling muda dan tugasnya mengerjakan urusan kesekretariatan,” papar Apip.

Takdir membawa suami dari Rahayu Nurhida itu menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya sejak saat itu. Hingga kini sudah empat periode.

Komentar