KABARPARLEMEN.ID – Asep Muslim menjadi salah satu politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Tasikmalaya yang cukup lantang. Suaranya keras, sikapna tegas. Ia sering kali fokal bersuara di lembaga legislatif.
Asep Muslim asli kelahirah Tasikmalaya, pada 21 Mei 1975. Anak ketiga dan satu-satunya laki-laki dari empat bersaudara. Terlahir dari sepasang suami-istri H. Mamad dan Hj. Iyus Yaosah.
Sikap tegasnya terwariskan dari karakter sang ayah dan ibu. Ayahnya berprofesi sebagai guru yang sederhana, tapi penuh dedikasi. Sementara ibunya seorang ibu rumah tangga.
“Ayah saya itu sosok yang tegas, disiplin. Jadi, kalau mendengar lagu ‘Umar Bakri’-nya Iwan Fals itu, saya teringat sosok ayah. Seperti itulah beliau. Sederhana tapi penuh dedikasi. Berangkat ke sekolah untuk mengajar pasti setiap jam 06.00, sekalipun jadwal mengajarnya agak siangan,” kenang Asep Muslim.
Adapun ibunya, sekalipun ibu rumah tangga, tetapi tumbuh dalam asuhan seorang tentara. Kakeknya Asep Muslim lah yang seorang tentara.
Berkat pola asuh seperti itulah, di antaranya, Asep Muslim tumbuh menjadi siswa berprestasi di sekolah dasar (SD). Sering mengikuti perlombaan cerdas cermat mewakili sekolahnya, bahkan sampai tingkat Kabupaten Tasikmalaya. Salah satu prestasinya adalah menjadi juara ke-2 Lomba Cerdas Cermat P4 tingkat Kabupaten Tasikmalaya.
Di luar aktivitas akademik, suami dari Eni Purwanti ini juga aktif mengikuti ekstra kurikuler. Salah satunya Gerakan Pramuka (Praja Muda Karana).
Masuk Pesantren
Selesai menempuh pendidikan tingkat SD, Asep Muslim masuk Pesantren Sukamanah. Enam tahun mukim di asrama, sembari sekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) di lingkungan yang sama.
“Saya masuk pesantren karena ayah. Ayah saya itu sosok yang agamis, tetapi juga tidak mau anaknya ketinggalan dalam pendidikan umum. Karena itu masuk ke Pesantren Sukamanah, karena di sana ada sekolahnya juga,” lanjut Asep Muslim.
Pernah hidup di pesantren disyukuri betul oleh Asep Muslim, karena dengan demikian ia jadi mudah bergaul dengan banyak orang dan beradaptasi dengan kondisi apapun. Hikmah paling utamanya dapat bertemu dengan sosok guru (kiai) yang memberi bekas cukup dalam bagi kehidupannya.
Sosok yang paling berpengaruh bagi Asep Muslim di antaranya Kiai Fuad Mukhsin. Ialah Pimpinan Pesantren Sukamanah pada masanya.
“Pak Kiai Fuad Mukhsin sangat berpengaruh bagi saya, sehingga selalu merasa terharu setiap kali mengingatnya. Beliau itu figur yang selaras antara perbuatan dan perkataan. Ini sosok yang sangat jarang, bahkan pada sosok yang selevel kiai sekalipun,” tambah ayah bagi dua anak itu.
Selain karena sosoknya yang penuh teladan, Kiai Fuad Mukhsin juga pernah mengusir Asep Muslim dari pesantren, akibat ulahnya yang di luar batas. Sang kiai menyuruhnya pulang pada malam hari.
Tetapi saat diam-diam Asep Muslim kembali ke pesantren pada pagi harinya, duduk mengaji pada barisan paling depan, Sang Kiai seakan tidak menyimpan bekas amarah. Asep Muslim tetap diterima dengan baik.
Saking berpengaruhnya Sang Kiai, bahkan saat di kemudian hari Asep Muslim sudah jauh dari pesantren, karena melanjutkan studi ke Yogyakarta; Sang Kiai sering muncul dalam mimpi. Terutama saat ia dalam kondisi kurang sehat.
Jadi Aktivis di Kampus
Pada babak kehidupan selanjutnya, Asep Muslim melanjutkan studi ke IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta. Ia mengikuti jejak sang kakak yang lebih dulu menimba ilmu di sana, sama halnya ketika masuk pesantren.
“Kuliah di Yogyakarta itu karena ikut Teteh. Jadi Teteh saya sudah kuliah di sana lebih dulu. Sama ketika masuk pesantren juga, waktu itu Teteh sudah masuk lebih dulu. Selain itu karena ingin merasakan suasana baru atau budaya baru saja,” aku Asep Muslim.
Di Yogyakarta, Asep Muslim bergabung dengan organisasi kemahasiswaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebagai organisasi otonom dalam rumah Nahdlatul Ulama (NU). Selama tujuh tahun ia menempa idealisme dan intelektualitas di dalamnya.
Di luar PMII, Asep Muslim juga aktif dalam organ Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KemPeD). Di sinilah ia sangat keras menyuarakan keadilan, demokrasi dan HAM. Karena pada masanya memang sedang gencar-gencarnya gerakan perlawanan terhadap otoritas Orde Soeharto.
Ada sejumlah faktor yang mendorong Asep Muslim tumbuh menjadi seorang aktivis. Baru memasuki pase Ospek saja ia sudah menggalang mahasiswa untuk melakukan aksi protes atas penyelenggaraan Ospek.
“Jadi aktivis mungkin karena ada perangaruh alam bawah sadar. Sebab sejak kecil ayah sering bercerita bahwa kakek saya sering diculik setiap kali menghadapi Pemilu. Kakek saya kan aktivis Masyumi,” kata Asep Muslim.
Faktor lainnya karena pernah mondok di Pesantren Sukamanah. Sejak duduk di MTs ia sering mendengar cerita heroik KHZ. Musthafa, sang pahlawan nasional yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dari Pesantren Sukamanah.
“Mungkin jiwa perlawanan tumbuh dengan sendirinya. Karena selain mendengar cerita heroik KHZ. Musthafa juga setiap hari pasti melintasi Makam Taman Pahlawan, yang di sana salah satunya bersemayan jenazah KHZ. Musthafa,” tambah Asep Muslim.
Di sisi lain, sumber bacaan juga ikut mempengaruhi watak Asep Muslim. Salah satunya pemikiran-pemikiran Ali Syariati, seperti yang tertuang dalam Ideologi Kaum Intelektual. Begitu juga dengan buku-buku sejarah.
Dari buku-buku bacaan itu pria yang duduk di Komisi II DPRD Kabupaten Tasikmalaya ini memandang bahwa melakukan perlawanan atas kezaliman merupakan bagian dari tugas seorang intelektual dan umat Islam. Bahkan menurutnya, itu bagian dari tugas kenabian atau misi profetik, sebagaimana Nabi Muhammad melakukannya di tanah Mekkah.
“Karena sering demo itu, dulu saya sering berurusan dengan aparat. Pernah kena tangkap juga, kena pukul dan sebagainya. Berkali-kali juga bisa lolos dari penangkapan,” kenang Asep Muslim lagi.
Pada gilirannya, tibalah waktu bagi Asep Muslim kembali ke kampung halaman, Tasikmalaya, pada 2000. Semangat aktivisnya tidak padam. Bergabunglah dengan Lingkar Agama dan HAM (LKHAM). Organ ini getol mengkritisi kebijakan Pemda, sekurang-kurangnya dalam tempo 2000 hingga 2003.
Praktisi Demokrasi
Reformasi pecah pada 1998. Orde Soeharto runtuh. Keran demokrasi terbuka lebar, sekalipun pada praktiknya prosesi Pemilu langsung terjadi secara berjenjang dari pusat turun ke daerah.
Pada 2003, pemerintah memutuskan sistem penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah secara langsung. Masyarakat dapat menggunakan hal pilihnya untuk memilih pemimpina pada level Provinsi dan Kota/Kabupaten.
Pada pase inilah Asep Muslim ambil kesempatan. Ia menjadi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Kabupaten Tasikmalaya, kemudian menyelenggarakan proses Pemilu Kada Kabupaten Tasikmalaya untuk pertama kalinya pada 2006.
“Penentu demokrasi yang berkualitas itu di antaranya adalah proses Pemilu. Ke sananya, ditentukan oleh komisioner KPU. Karena itulah saya masuk ke KPU, dengan harapan dapat memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat Kabupaten Tasikmalaya,” kata Asep Muslim.
Selama lima tahun Asep Muslim menjabat sebagai komisioner KPU. Pada periode selanjutnya, ia memilih untuk tidak mengikuti seleksi kembali. Baginya, satu periode sudah lebih dari cukup.
Mengkonsolidasikan Generasi Muda NU
Pada akhirnya Asep Muslim kembali ke jalur aktivis. Sejatinya langkah ini sudah diambilnya sejak pertengahan periode jabatannya di KPU. Ia menjadi Ketua GP Ansor Kabupaten Tasikmalaya pada 2008.
Memimpin GP Ansor pada masanya tidaklah mudah. Asep Muslim hanya punya tim yang terdiri dari 10 orang. Secara struktur, GP Ansor di Kabupaten Tasikmalaya pada waktu itu belum begitu mengakar hingga tingkat kecamatan apalagi desa.
Fakta itulah yang memicu Asep Muslim untuk mengkonsolidasikan generasi muda NU itu. Ia, bersama timnya yang 10 orang itu, getol berkeliling ke setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya.
“Jadi, waktu itu, kami yang 10 orang itu setiap Jumat sampai Minggu keliling ke tiap kecamatan. Kami mentuk kepengurusan di sana, sampai akhirnya lahirlah ribuan kader. Kami berhasil melantik ribuan pengurus GP Ansor se-Kabupaten Tasikmalaya di Cipasung. Itu sejarah dan sebuah kebanggan,” lanjutnya.
Memilih Ansor memang bukan tanpa alasan. Asep Muslim melihat bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Tasikmalaya adalah warga NU. Dengan demikian, memajukan warga NU sama halnya dengan memajukan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya pada umumnya.
Menapaki Jalan Politik Praktis
Sampailah Asep Muslim ke jalan politik praktis. Padahal menurutnya, menapaki jalan ini tidak terbayangkan sebelumnya, bahkan saat ia getol-getolnya menjadi aktivis.
“Waktu jadi aktivis dulu, tidak berpikir kelak akan menjadi apa(?) Itu semata-mata karena semangat intelektual dan keagamaan bahwa itu adalah tugas. Menjadi anggota dewan juga bukan sesuatu yang dicita-citakan sejak awal,” akunya.
Pintu masuk ke kancah politik praktis terbuka sejak Asep Muslim resmi demisioner dari KPU Kabupaten Tasikmalaya. Beberapa parpol menawarinya untuk bergabung.
Setelah perenungan panjang, Asep Muslim akhirnya berlabuh ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Alasan yang paling fundamental adalah, bahwa di alam demokrasi; bagaimana pun, salah satu jalan untuk mengubah nasib masyarakat berawal dari proses perumusan kebijakan. Sementara untuk terlibat dalam perumusan kebijakan itu, jalannya adalah partai politik.
Kenapa PKB? Lagi-lagi karena NU. PKB memang partai yang paling dekat dengan NU. Di samping itu, ada alasan praktis; karena teman-temannya memang banyak di sana, sehingga tidak sulit untuk beradaptasi lagi.
Asep Muslim pun mencalonkan diri sebagai anggota legislatif daerah Kabupaten Tasikmalaya pada 2009. Tapi waktu itu takdir belum menghantarkannya lolos ke kursi DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
Tawaran nyaleg kembali datang pada Pileg 2014. Asep Muslim menolaknya, dengan alasan sedang fokus membangun GP Ansor. Dalam pikirannya berkelindan impian agar GP Ansor tumbuh dan terkonsolidasikan secara kuat hingga level ranting.
Baru kembali nyaleg pada Pileg 2019. Pileg inilah yang meloloskannya menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya, untuk periode 2019-2024.
“Kenapa pada 2019 saya berani maju lagi? Karena saya sudah berhitung kalkulasinya. Tapi yang pertama itu saya minta izin dulu ke ibu. Ibu mengizinkan. Kalau tidak, pasti saya tidak maju. Selain itu, saya juga minta izin kepada salah satu kiai di Tasikmalaya, di Sukahideng. Ini permintaan izin dari santri kepada kiainya, bukan permintaan politikus,” kenangnya lagi.
Uniknya, Asep Muslim memegang prinsip bahwa politik praktis tidak boleh bercampur aduk dengan organisasi yang dibesarkannya, GP Ansor. Baginya, dua institusi ini adalah dua entitas yang berbeda.
Asep Muslim membebaskan semua kader GP Ansor terlibat dalam suksesi selama Pemilu, di partai dan calon mana pun. Tetapi dengan catatan, kader GP Ansor harus menanggalkan “baju” atau “bendera” organisasi.
“Termasuk pada saat membantu saya saat nyaleg. Silahkan bantu saya, tapi lepas dulu baju Ansor,” Asep Muslim menandaskan.
(Dari berbagai sumber)
Komentar