oleh

Asop Sopiudin, Raja Kampung yang Butuh Politik untuk Mengukur Diri

KABARPARLEMEN.ID – Bagi kebanyakan orang, tujuan berpolitik praktis berbasis partai adalah untuk meraih jabatan tertentu di legislatif, eksekutif, atau badan publik lainnya. Tapi, bagi Asop Sopiudin, itu bukan orientasi utama, sekalipun sudah duduk di DPRD Kabupaten Tasikmalaya selama 15 tahun, tiga periode.

Asop Sopiudin lahir di Tasikmalaya, 4 Juni 1972. Putra kedua dari pasangan Abbas Nawawi dan Hj. Siti Badi’ah. Anak laki-laki tertua dari enam bersaudara, karena kakaknya perempuan.

Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Tasikmalaya ini tumbuh dalam keluarga petani. Ayahnya juga seorang tokoh agama di kampungnya. Aktivitasnya tinggi antara bertani dan melayani masyarakat. Sehingga interaksi antara ayah dengan anak-anaknya di dalam rumah sangat jarang.

Sebagai anak seorang petani, Asop mengalami masa kecil yang tidak bergelimang fasilitas. Kegiatannya paling seputar pertanian seperni mengolah ladang, memelihara itik dan kolam, serta membantu usaha keluarga dalam produksi tempe.

“Ayah itu ketat kalau menyangkut prinsip. Saya, sebagai anak laki-laki tertua, dilibatkan laki dalam berbagai hal. Ke sawah ikut bekerja. Kalau salah, kena hukum. Jadi, di rumah itu saya seperti dijadikan mesin produksi dalam usaha tempe,” kenang Asop.

Pola didikan dan rutinitas sang ayah ternyata membekas kuat dalam pribadi Asop. Kini, bahkan ketika ia sudah menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya, aktivitasnya seputar ladang dan kolam tidak pernah berhenti.

“Lihat saja kulit tangan saya ini warnanya hitam. Karena walaupun jadi anggota dewan, sebelum ngantor itu kegiatan saya setiap hari tidak terlepas dari mengajar ngaji, memberi pakan itik dan ikan, berkebun serta bertani,” kata Asop.

Jadi Asisten Kiai

Beranjak besar, sang ayah seakan melapas Asop. Ia dititipkan kepada seorang ulama yang menjadi Pimpinan Pesantren Cintawana. Waktu itu usianya belasan tahun, baru duduk di bangku SMP.

Jauh dari orangtua mendorong Asop belajar akan nilai kemandirian, kesederhanaan dan disiplin. Ketiga hal itulah yang menjadi bekal kehidupan suami dari Hj. Yeti Suryati selanjutnya.

“Saya menyadari belakangan ini bahwa ayah itu seakan-akan berpikiran bahwa kalau sudah usia SMP si anak sudah balig. Jadi tidak ada lagi tanggung jawab orang tua di sana. Kalaupun ngasih sesuatu, itu sekadar sedekah saja ke anak. Jadi saya benar-benar dipersilahkan memilih mau jadi apapun,” kata Asop.

Hidup di pesantren bukan berarti berkecukupan bekal. Nyatanya, Asop masih harus mencari tambahan uang jajan. Untungnya ia sudah terbiasa bekerja keras, buah dari didikan ayahnya.

Di pesantren Cintawana, jadilah “asisten” pimpinan pesantren. Antara lain membandu produksi es, kemudian mamasarkannya ke warung-warung. Termasuk bebagai macam gorengan. Kalau ada untungnya, Asop suka kebagian juga.

Bukan hanya itu, peran pria yang kini menjadi politikus Partai Persatuan Pembangunan itu sebagai asisten kiai juga dalam kegiatan lain. Kebetulan sang kiai waktu itu, K. H.  Aep Saepulloh menjabat sebagai Ketua MUI Kabupaten Tasikmalaya. Praktis sering menghadiri berbagai undangan.

“Kalau Pak Kiai ngaji atau menghadiri undangan, itu saya yang bawa bajunya, kitab, tas dan lain-lain. Sehingga saya dikenal oleh ulama-ulama besar. Pola pergaulan pun terbentuk seperti itu. Waktu itu saya masih SMP,” kenang Asop lagi.

Enam tahun lamanya Asop hidup di asrama Pesantren Cintawana. Selama itu juga menjadi orang dekat pimpinan pesantren. Tepatnya sebagai “asisten” yang membantu berbagai keperluan sang kiai.

Bisnis dan Aktivis

Pada pembabakan selanjutnya, Asop merantau lebih jauh. Ia kuliah di IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta. Perkuliahan yang dijalaninya dengan hati sedikit kesal, karena harapannya dapat kuliah ke IPB. Apa boleh buat, titah ayahnya mengharuskannya kuliah di IAIN dengan jurusan Tafsir Hadits, meskipun semasa SMA kegemarannya pada pelajaran eksakta.

Di kampus, di luar kuliah, Asop berupaya mencari bekal hidup sendiri. Uang kiriman orangtua ia kembalikan, karena masih mengkal. Untuk mempertahankan hidup, sejumlah usaha dijalaninya; antara lain berjualan koran, mie ayam dan lain sebagainya.

Akhirnya, berlabuhlah di Koperasi Mahasiswa (Kopma), sampai menjadi pengurus. Kopma mengalami kemajuan signifikan. Omzetnya luar biasa besar sampai dapat memperluas aset. Di sanalah jiwa entepreneurnya kian terasah.

Selain berkecimpung di dunia bisnis, Asop juga aktif pada organ luar kampus, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Lazimnya aktivis tahun 1990-an, ia juga getol berdemonstrasi menyuarakan reformasi. Tentu juga mengasah intelektualitas.

Cobaan datang saat duduk di semester lima. Sang ayah meninggal dunia. Beban di pundaknya kian berat. Sebagai anak laki-laki tertua, ia harus mengambil peran serta tanggung jawab ayahnya atas ibu dan adik-adiknya.

“Amanat ayah sebelum meninggal sangat berat. Jadi, tiga hari sebelum meninggal, ayah menitipkan tiga hal. Pertama, saya harus pulang kampung jika selesai kuliah. Kedua, menitipkan adik-adik supaya pendidikannya minimal S1, dari manapun rejekinya. Ketiga, menitipkan supaya memberangkatkan ibu ke tanah suci, kalau ada materinya,” lanjut Asop.

Akhirnya, pada 1997, Asop menunaikan amanat ayahnya, pulang kampung. Lebih beratnya, ada larang sang ayah masuk PNS. Pokoknya harus hidup di kampung halaman. Boleh beraktivitas di luar, sepanjang memungkinkan punya waktu untuk mengajar di kampung.

Amanat yang tidak ringan. Sebab ia hidup di pelosok yang akses transportasi saja tidak memadai. Secara ekonomi pasti sulit maju, apalagi untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Tapi, amanat tetap amanat. Ia harus tabah menjalaninya, sampai mendirikan sebuah yayasan pendidikan berbasis pesantren, Daarul Abroor yang bukan hanya bertahan melainkan berkembang hingga saat ini.

Dai Muda dan Berpolitik

Kembali dari perantauan menuntut Asop beradaptasi kembali dengan kultur kampung halamannya, atau bahkan Kabupaten Tasikmalaya. Hal pertama yang ia cari adalah media yang sekiranya dapat menyalurkan karakter aktivisnya yang kritis dan vokal.

Maka, ikutlah berbagai kajian di wilayah Kota Tasikmalaya, seperti di Masjid Agung dan lain sebagainya. Juga tidak melupakan Pesantren Cintawana. Asop sesekali kembali mengaji kepada gurunya, tetapi tidak mondok di asrama selayaknya santri.

Perlahan, jadilah seorang dai muda. Undangan ceramah datang dari berbagai tempat, lintas desa bahkan lintas kecamatan. Satu wilayah Kabupaten Tasikmalaya perlahan mengenal namanya, karena materi ceramahnya yang tanpa rasa takut.

“Tahun 1990-an kan sedang laku-lakunya pidato berbau kritik terhadap pemerintah itu. Jadilah saya ini populer. Akhirnya saya berpikir kalau jalan paling cepat untuk menaikkan popularitas adalah berpolitik, karena ternyata agama dengan politik itu saling bertautan dan harus saling menguatkan,” pikir Asop.

Berlabuhlah di PPP. Menapaki karier politik dari level paling dasar, jadi kader ranting. Karena vokal dan kritis, terpilih lah menjadi Sekretaris PAC tingkat desa, kemudian tingkat kecamatan dengan jabatan yang sama.

Akhirnya, nama Asop tercium oleh para petinggi DPC PPP Kabupaten Tasikmalaya. Bupati Tasikmalaya pada masa itu, Tatang Farhanul Hakim terkesan oleh keberaniannya.

Memilih PPP, bagi Asop adalah pilihan realistis dan pragmatis. Lantaran ia hidup di lingkungan masyarakat yang loyal terhadap PPP. Jangankan pada era kebebasan pascareformasi, pada Orde Baru saja masyarakat tetap teguh para partai berlambang kabah itu.

“Jadi, warga di sekitar tempat tinggal saya itu seperti memegang doktrin yang tidak bisa diubah, bahwa secara politik harus PPP. Saya tidak mungkin berkonfrontasi dengan masyarakat, kecuali mengikuti alurnya. Yang terpenting masyarakat senang. Maka, saya masuk PPP,” kata Asop.

Pada 2004, Bupati Tatang menawari Asop agar mencalonkan diri untuk DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Ia pun minta restu orangtua, dengan alasan untuk promosi lembaga pendidikan miliknya. Jabatan anggota DPRD bukan targetnya yang paling utama.

Sekalipun demikian, perolehan suaranya sangat signifikan. Lebih dari 9.000 suara. Tapi gagal lolos ke DPRD, karena waktu itu yang berlaku adalah sistem nomor urut. Ia kalah oleh calon lain dari partai yang sama dengan perolehan suara 1.000-an lebih, tapi nomor urutnya lebih atas.

Gagal lolos ke DPRD tidak menjadikan Asop prustasi. Ia anggap itu sebagai sebuah investasi. Lagipula, targetnya mempromosikan lembaga pendidikan terbilang berhasil. Siswanya mengalami peningkatan signifikan.

Seiring dengan kemajuan lembaga pendidikannya, Asop secara perlahan menjadi seperti “raja” kampung. Hampir semua pihak manut kepadanya. Sehingga sulit baginya untuk mengukur diri, apakah gerak langkahnya dalam menjalani kehidupan itu ada dalam jalur yang benar atau salah.

Atas dasar itu pula ia betah dalam dunia politik. Sejak 2009 selalu lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Baginya, di samping jalan untuk berbaur dengan semua lapisan masyarakat, berpolitik juga untuk menguji mental, mengukur diri supaya tidak merasa besar kepala.

“Di dunia politik itu ada yang mencaci maki, memarahi dan mengkritisi. Bahkan pernah suatu ketika saya ada yang mempreteli sampai-sampai di DPRD itu hanya jadi anggota saja. Di partai juga menjadi hanya kader. Bagi saya, itu biasa saja. Kalau di kampung sudah seperti raja kampung; siapa yang akan berani mengkritik ke saya? Saya salah saja mungkin tidak ada yang menegur,” Asop menandaskan.

(Dari berbagai sumber)

Komentar