KABARPARLEMEN.ID—Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) membentuk beberapa panitia khusus (Pansus), pascaparipurna pandangan umum fraksi-fraksi terkait LKPJ Bupati Tasikmalaya tahun anggaran 2019.
Demi Hamzah, Ketua Komisi I, memimpin Pansus I. Pada Selasa (14/4/2020), Pansus ini menggelar rapat. Salah satunya menyoroti keuangan atau pengeluaran sekretariat daerah (Setda).
Selama mengkaji LKPJ Bupati Tasikmalaya tahun anggaran 2019, Pansus I menemukan indikasi kalau Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tasikmalaya hanya jago dalam menghabiskan anggaran, tetapi pada sektor yang tidak prioritas.
“Dari aspek penyerapan, oke! Urusan habisin duit mah jagoan lah. Tapi dari segi kepatutan, bahwa hari ini pemerintah harus hadir di tengah-tengah kesulitan rakyat, itu sama sekali belum terlihat,” ujar Demi.
Contoh, menurut Demi, laporan tentang pendampingan masyarakat miskin. Program ini lucu, katanya, karena sama sekali tidak menyentuh substansi kebutuhan masyarakat miskin.
Dalam setahun, Pemkab hanya menangani sebanyak 15 kasus. Hampir semuanya urusan rumah tangga. Demi bahkan menangkap kesan seakan-akan Pemkab mendorong proses perceraian warganya. Bukan mendamaikan.
“Artinya, banyak sekali uang negara ini, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, tetapi tidak menyentuh secara substansif. Itu yang kita sesalkan. Jadi, memenuhi aspek legal saja, bahwa ini sah dan itu boleh. Tapi tidak prioritas. Kalau terus begitu, sampai kapan pun, uang negara ini akan terbuang sia-sia,” lanjutnya.
Kenyataan tersebut terjadi, hemat Demi, tidak terlepas dari goal setting Pemkab yang tidak jelas. Visi “Religius Islami”, misalnya, masih patut dipertanyakan. Sekalipun ditopang dengan misi “Meningkatnya keimanan dan ketakwaan”, tetap saja tolak ukur ketercapaiannya tidak jelas.
“Ternyata, tolak ukurnya itu, katanya ‘meningkatnya pembayar zakat di lingkungan ASN’. Itu kan lucu. Bayar zakat mah sudah kewajiban mereka sebagai Muslim. Nggak bisa dipake sebagai tolak ukur,” tambahnya.
Kalaupun di-break down ke hal yang lebih teknis, misalnya terkait visi “Agribisnis”; Demi tetap tidak melihat kinerja yang mendukung keberhasilannya. Di lapangan, tidak terjalin sinergitas antardinas.
Misalnya, saat Dinas Pertanian memproduksi pupuk organik, Dinas Perdagangan sama sekali tidak menyiapkan pasarnya. Antardinas berjalan secara parsial.
Sumber persoalan dari semua itu, menurut Demi, terletak pada moralitas. Reformasi birokrasi, yang digaungkan pada 1998 dulu, belum terwujud hingga level Pemkab. Birokrasi di lingkungan Pemkab perlu mencontoh sistim BUMN, Departemen, atau bank yang akuntabilitas dan etos kerjanya bagus.
“Perhatikan bagaimana bank pemerintah hari ini memperlakukan nasabah? Begitu datang nasabah, customer service menyambut dengan senyuman. Kemudian ditanya apa kebutuhan atau keperluannya. Nah, begitulah harusnya Pemkan menerima masyarakat,” harapnya.
Demi belum melihat pemandangan tersebut. Masih banyak yang duduk di birokrasi bekerja seenaknya. Pake sandal jepit, main game, lalu pulang kapan saja mereka mau. Belum ada rasa bahwa birokrasi itu pelayan publik.
Birokrasi di lingkungan Pemkab Tasikmalaya malah mengingatkan Demi pada serial komik Asterix dan Obelix. Dua lakon yang kuat berkat ramuan itu mampu menyikat habis sekian banyak tentara Romawi. Tapi mereka tak berdaya menghadapi birokrasi di Kota Athena. Mereka terkapar.
“Saya yakin, di tengah birokrasi, Bupati itu tidak seberkuasa yang kita bayangkan. Makanya saya pesankan kepada Bapak Bupati, berhati-hatilah di dunia barunya itu,” ujar politisi dari PDI Perjuangan itu.
Demi juga menegaskan kalau yang ia bicarakan bukan soal personal. Itu soal pemerintahan secara general. Birokrasi tetap mesti ada. Bahwa birokasi itu mesti sejahtera, juga iya. Tapi, bagi Demi, gunakanlah cara-cara yang sesuai kepatutan.
“Karakter birokrasi juga jangan rigid. Semangat pelayanan publik mesti lentur, asal untuk kepentingan publik. Anehnya, dunia birokrasi itu sangat rigid untuk dunia luar, tetapi lentur untuk dirinya sendiri,” pungkasnya.
Komentar