oleh

Demi Hamzah, Terlahir dengan Gen Aktivis dan Politisi

KABARPARLEMEN.ID – Dalam dirinya mengalir darah atau gen aktivis dan politisi. Turun dari ayah dan ibu, bahkan nenek. Sehingga ia pun tumbuh menjadi seorang aktivis dan politisi. Sampai-sampai awet duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya selama 20 tahun, empat periode.

Namanya Demi Hamzah Rahadian. Kelahiran Tasikmalaya, 8 November 1975. Sekalipun lebih lama tinggal di Tasikmalaya bersama nenekna, di Cibalong; tetapi demi pernah hidup di dua daerah: Tasikmalaya dan Cianjur.

Adalah ayahnya, H. Dede Asyarie yang merupakan orang cianjur. Sementara sang ibu, Hj. Ucu Rohani berasal dari Tasikmalaya. Sepasang suami istri ini memang figur yang aktif dalam berorganisasi.

Dede muda pernah menjabat sebagai Ketua PMII dan Ansor. Aktif juga di KNPI. Belakangan menjadi salah satu deklarator PKB. Semuanya di Cianjur. Sementara sang ibu pernah menjadi Ketua PAN pertama, juga di Cianjur.

“Ayah saya seorang jurnalis yang juga aktivis NU di Cianjur. Beliau salah satu deklarator Partai Kebangkitan Bangsa di Cianjur. Kalau ibu, anak dari tokoh Masyumi. Nenek saya yang tokoh Masyumi di Cibalong. Tokoh pengajian juga, suka ceramah,” terang Demi.

Anak laki-laki satu-satunya dari tiga bersaudara itu hidup lama dalam asuhan sang nenek, di Cibalong. Praktis berpisah dari orangtuanya yang tinggal di Cianjur. Walaupun dalam beberapa waktu juga pernah tinggal di sana.

Akrab dengan Literasi

Demi kecil sudah akrab dengan literasi. Hal tersebut tidak terlepas dari peran mereka yang mengasuhnya. Ayahnya yang jurnalis dan pandai menggambar, ternyata mempunyai cukup banyak koleksi buku.

Sementara dari sang nenek, suami dari Hj. Yati Cahyati itu belajar mengaji dan kehidupan. Maklum, sebagai seorang tokoh Masyumi yang bertani, neneknya pandai bermasyarakat.

“Nenek jelas jadi sosok yang paling berpengaruh. Nenek itu pandai bermasyarakat. Suka berbagi juga walaupun hal kecil tapi penting. Paling sering membagikan korek api dan sabun. Itu memang barang kecil, tapi waktu itu sangat penting,” kenang Demi.

Semakin dewasa semakin matang. Politikus PDI Perjuangan ini kuliah di jurusan Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba). Di sana aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sampai jadi Ketua Pimpinan Komisariat (PK) HMI di Fakultasnya.

Ia mengaku HMI memang memberinya perubahan besar. Karena di sana banyak belajar berbagai pemikiran progresif. Tumbuhlah keberanian menyampaikan gagasan di muka publik. Bahkan getol melakukan perlawanan terhadap rezim Orde Baru, mengusung gagasan Reformasi pada 1998-an.

“Karena sering demo itu, saya pernah dua kali ditangkap oleh aparat. Dibawa ke suatu tempat yang menjadi markas aparat. Kemudian dibawa ke Polda. Tapi tidak ditahan, cuma diajak ngobrol,” lanjutnya.

Karier dan Politik

Lazim dengan yang lain, setelah lulus kuliah, ayah bagi empat orang anak ini mencari pekerjaan. Berbagai pekerjaan digelutinya, seperti di pabrik, di toko atau mall, bahkan di bank. Ia mengaku tidak pernah pilih-pilih pekerjaan, bahkan pekerjaan kasar sekalipun.

Di samping karier itu, jiwa aktivis dan politisi Demi tidak serta merta luntur. Sebagai anak muda, ia terlibat dalam momen deklarasi Barisan Muda (BM) PAN. Selanjutnya aktif di sana.

Bukan politisi namanya jika hanya mengurus partai. Demi terjun dalam gelanggang Pemilihan Legislatif pada 2004 dari PAN. Benar-benar nekat, karena sejatinya ia tidak cukup memiliki modal pinansial.

“Saya waktu itu tidak punya modal. Cuma punya uang Rp 5 juta. Motor juga tidak punya. Banyak yang tidak percaya, tapi ibu terus mendorong saya,” kata Demi.

Di tengah keterbatasan, Demi beriktiar dengan caranya sendiri. Polanya berbeda dengan Calon Legislatif (Caleg) pada umumnya. Tidak mendatangi forum-forum resmi. Ia justru memilih berkeliling perkampungan. Singgah setiap kali ada masyarakat sedang berkumpul-kumpul.

Di sana Demi berbincang dengan masyarakat. Mengenalkan diri sebagai Caleg dari PAN. Sama sekali tidak menjanjikan apapun. Sekadar meyakinkan masyarakat bahwa jika dari tanah kelahirannya ada anggota dewan, minimal ada orang yang bisa diajak “bicara” untuk menyampaikan aspirasi.

Di luar dugaan, dukungan begitu mengalir. Banyak juga yang menyumbangkan dana dan kaos. Tim suksesnya begitu militan.

“Tim saya rata-rata orang-orang terbuang di kampungnya. Mereka modal sendiri. Sampai ada yang berkorban dengan memotong gordeng rumahnya untuk alat peraga kampanye. Kemudian terjadi kejutan, saya menang di desa saya. Yang lolos tetap Kang Heri Hendriyana,” tambah Demi.

Takdir pada akhirnya mengantarkan Demi menduduki kursi DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Sebuah kebijakan yang menawarkan Heri untuk memilih antara menjadi anggota DPRD atau fokus sebagai notaris adalah jalannya.

Heri Hendriyana mantap memilih profesinya sebagai seorang notaris. Praktis posisinya di DPRD Kabupaten Tasikmalaya harus digantikan. Partai pada akhirnya menugaskan Demi sebagai pengganti Heri.

Menjadi wakil rakyat di parlemen benar-benar dunia baru bagi Demi. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan, tugas pokok dan fungsi jabatannya yang baru itu. Untunglah ada Iip Syamsul Arif yang telaten membimbingnya.

“Memahami kinerja DPRD atas bimbingan Pak Haji Iip Iip Syamsul Arif. Saya sangat berterima kasih. Kebetulan kami sama-sama alumni dari HMI juga,” kenang Demi lagi.

Berlabuh di PDI Perjuangan

Berangkat dari partai berlambang matahari biru, pelabuhan Demi kini justru di partai berlambang kepala banteng; PDI Perjuangan. Di balik itu ternyata ada sejarahnya tersendiri.

Ada beberapa faktor penyebab kerenggangan Demi dengan PAN. Salah satunya konflik internal partai. Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Tasikmalaya itu sudah tidak kerasan lagi.

“Waktu itu memang ada konflik di internal partai (PAN, Red.), saya kemudian vakum lalu keluar. Selain itu juga karena ada peristiwa pelengseran Gus Dur dari kursi Presiden. Saya kan suka atau cinta sama Gus Dur,” Demi mengaku.

Keluar dari PAN tidak ujug-ujug pindah partai, Demi lantas ikut berkompetisi dalam perebutan Ketua KNPI Kabupaten Tasikmalaya. Selanjutnya aktif di sana.

Di kemudian hari, tawaran untuk bergabung datang dari banyak partai. Pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan karena dua dorongan. Pertama dari sang ibu. Kedua atas ajangan Ade Sugianto, yang kini menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya.

“Sarang ibu itu, ke partai yang merah. Saya tanya, ‘yang merah kan banyak, ke mana?’. ‘Ke PDI Perjuangan,’ kata Ibu. Kalau pak Ade Sugianto malah bilangnya begini, ‘Jang, kalau bisa jangan pindah, karena biasa di partai itu suka konflik. Tapi kalau mau pindah, ke PDI Perjuangan saja’. Ya sudah, saya masuk ke PDI Perjuangan tahun 2011, kebetulan waktu itu di KNPI,” tambah Demi.

Pada 2014 Demi kembali mencalonkan diri pada Pileg untuk Kabupaten Tasikmalaya. Terpilih, dan sejak saat itu hingga kini menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya dari PDI Perjuangan.

Tasela Mandiri, Tasikmalaya Tetap Sinergi

Jika dihitung, Demi sudah menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya lebih kurang 20 tahun; empat periode. Ia mengaku cukup bosan juga. Pasalnya, secara otoritas, DPRD tidak begitu kuat. Toh eksekutif masih bisa menjalankan rencana programnya tanpa persetujuan DPRD, dengan dasar hukum Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Salah satunya terkait penggunaan anggaran.

“Kalau mau mengubah sesuatu, memang harus ke eksekutif. Saya kira semua politikus merencanakan ke eksekutif. Itu pasti,” tegasnya.

Tapi, sebagai anggota partai politik, tidak semua politikus bisa menginginkan menjadi eksekutif secara tergesa-gesa. Ada mekanisme partai yang harus dipatuhi. Semua harus atas penugasan partai; tentu atas dasar potensi dan hasil survei.

Sekalipun demikian, ada dua hal yang kini getol ingin Demi perjuangkan, sesuai dengan kapasitasnya. Pertama, sebagai orang Tasikmalaya bagian selatan, ia sangat berharap Kabupaten Tasikmalaya Selatan (Tasela) menjadi satu daerah yang mandiri atau otonom.

Kedua, Demi ingin mewujudkan Tasikmalaya sebagai suatu kesatuan yang sinergi. Tanpa sekat antara kota dan kabupaten, sekalipun secara administratif memang terpisah.

“Antara Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, berpisah itu sebetulnya hanya administratif, tetapi malah muncul ego masing-masing. Saya pikir Tasikmalaya ini hanya bisa maju kalau pemerintahnya bersama-sama. Harusnya duduk bersama dan dibicarakan bersama. Kadunya bersinergi,” Demi menandaskan.

(Dari berbagai sumber).

Komentar