KABARPARLEMEN.ID – Peta politik di Indonesia sedikit mengidentikkan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Pertaliannya antara lain terletak pada ideologi Marhaenisme yang melekat pada kedua institusi tersebut.
Tetapi hal itu tidak terjadi pada Asep Saepuloh. Pria kelahiran Kabupaten Tasikmalaya pada 20 November 1978 itu memilih Partai Golkar sebagai pelabuhan politiknya. Sebuah pilihan yang sah.
Pria yang lahir bertepatan dengan Hari Pahlawan itu merupakan anak bungsu dari dua bersaudara, putra pasangan Gofarman dan Nonoh Nurhayati. Ayahnya seorang guru.
Masa kecil Asep Saepuloh berlangsung di Karangnunggal. Baru meninggalkan kampung halaman saat menginjak remaja, menimba ilmu di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cipasung, pada 1996.
Ayah bagi empat orang anak itu mengaku kalau ayahnya berwatak tegas dalam mengasuh anak-anaknya. Hal itu juga menular pada diri pria yang kini duduk di Komisi IV DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
“Ayah paling berpengaruh pada pembentukan karakter, termasuk metode pengambilan keputusan. Karena ayah adalah sosok yang tegas. Tidak memanjakan anak-anaknya dalam hal apapun,” ujar Asep Saepuloh.
Mondok, Tradisi Keluarga
Sikap ketat pengasuhan sang ayah berubah ketika anak-anaknya menginjak remaja. Menurut Asep Saepuloh, ayahnya seakan-akan menyerahkan arah hidup pada anak-anaknya sejak lulus SLTP.
“Karena mungkin ayah saya menganggap kalau sudah SMA itu sudah dewasa. Sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah,” Asep Saepuloh berasumsi.
Sekalipun demikian, lain halnya dengan menempuh pendidikan di lingkungan pesantren. Mondok justru menjadi suatu keharusan, karena seakan sebuah tradisi keluarga.
Gofarman sendiri, ayahanda Asep Saepuloh, pernah mondok di Pesantren Sukamanah. Maka, begitu juga dengan anak-anaknya, harus merasakan pola pengasuhan di pesantren.
“Tapi, mewajibkan mondok itu juga bukan berarti mendorong kami menjadi kiai, melainkan supaya mendapat bekal ilmu agama yang cukup untuk menjalani kehidupan,” ujar Asep Saepuloh.
Apa boleh buat, pria yang getol memperjuangkan terwujudnya DOB Tasikmalaya Selatan itu harus menuruti titah orangtuanya. Jatuhlah pilihannya ke Pesantren Cipasung.
Awalnya Asep Saepuloh berharap dapat mondok di Pesantren Gontor. Tapi ayahnya tidak mengizinkan. Di samping karena lokasinya jauh, juga karena orangtuanya tidak memiliki cukup informasi soal Gontor.
Merantau ke Yogyakarta
Asep Saepuloh selanjutnya merantau ke Yogyakarta. Ia kuliah di dua kampus sekaligus: Istitute Sain dan Teknologi Akprind dan IAIN Sunan Kalijaga.
“Kuliah di dua kampus itu tidak berat. Cuma sulit kalau bentrok jadwal. Tapi di IAIN tidak tamat, cuma dua smester. Tamatnya di Akprind,” kenang Asep Saepuloh.
Di kampus, Asep Saepuloh aktif berorganisasi di GMNI. Baginya, berorganisasi menjadi sebuah kebutuhan atas beberapa alasan. Antara lain untuk menyalurkan eksistensi dan meningkatkan kapasitas diri. Kondisi bangsa yang mengkhawatirkan waktu itu kian memperkuat dorongan untuk berorganisasi.
“Kenapa memilih GMNI? Karena memang surat undangan yang berisi ajakan masuk organisasi datangnya dari GMNI. Waktu itu, di Yogyakarta, GMNI adalah yang paling aktif, sehingga menarik minat saya,” kata Asep Saepuloh.
Galibnya aktivis kampus pada waktu itu, Asep Saepuloh juga sering terlibat dalam aksi mahasiswa menyuarakan reformasi. Ideologi Marhaenisme dalam tubuh GMNI bergelola dalam jiwanya. Karena aksi itu sampai-sampai berurusan dengan aparat, sampai mengalami penahanan di kantor polisi.
Penahanan tidak membuatnya kapok, meskipun mengalami kekerasan fisik. Tidak kapok karena memang banyak orang yang senasib. Tetapi tetap saja ada konsekuensinya, kuliah sedikit terbengkalai; IPK-nya benar-benar rendah. Baru setelah reformasi usai, Asep Saepuloh berpikir untuk melanjutkan kuliah secara serius.
Memilih Partai Golkar ketimbang PDI Perjuangan
Asep Saepuloh tidak langsung pulang kampung ketika masa perkuliahan di Yogyakarta selesai. Ia bekerja. Sebelum benar-benar bekerja secara profesional, ia pernah menjadi tour guide di Yogyakarta. Kebetulan bahasa Inggrisnya fasih, karena pernah “kursus” di Kampung Inggris Pare.
Profesinya ini tidak profesional. Kebetulan saja kenal dengan pengusaha travel. Diajaklah untuk mendampingi turis. Meski tidak profesional, tetap mendapat upah.
Sementara karier profesionalnya bertempat di Semarang. Kemudian dimutasikan ke Jakarta. Setelah itu tidak betah dengan suasana Jakarta, sehingga memilih kembali ke Tasikmalaya.
Di Tasikmalaya, spirit aktivis Asep Saepuloh tumbuh kembali. Ia rajin menulis opini di sejumlah surat kabar. Namanya dikenal oleh banyak tokoh, terutama yang tertarik dengan isi pikirannya.
Pada babak selanjutnya, datanglah berbagai ajakan untuk masuk partai politik, dari berbagai partai politik. Partai Golkar lah yang menjadi tambatan hatinya.
“Saya masuk ke politik itu mengalir saja. Karena saya sebelumnya aktif di GMNI, banyak juga yang bertanya, kenapa tidak ke PDI Perjuangan? Bagi saya, inilah sebuah pendewasaan dalam pengambilan keputusan. Kedua partai ini kan sama-sama nasionalis. Rasionalisasinya, peluang bagi saya lebih besar di Golkar ketimbang di PDI Perjuangan. Itu saja,” papar Asep Saepuloh.
Bukan berpartai politik namanya jika tanpa target-target kekuasaan. Begitu juga bagi Asep Saepuloh. Ia pun mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pileg 2014. Usahanya kali itu tidak berhasil.
Seumpama kata pepatah, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Asep Saepuloh tidak patah hati. Ia justru termotivasi untuk melakukan beberapa evaluasi. Alhasil, pada Pileg 2019 ia berhasil lolos menjadi anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya.
“Saya memang berhasil lolos menjadi anggota dewan, tetapi tidak bisa berbuat banyak juga bagi masyarakat, karena muncul pandemi Covid-19. Banyak tuntutan tidak terealisasi, karena dari segi anggaran teralokasikan untuk pemulihan pandemi,” sedikit sesal Asep Saepuloh.
(Dari berbagai sumber)
Komentar